JAKARTA - Sebagaimana amanat regulasi hasil Reformasi, Pasal 2 Ayat (2) UU NO.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana negara dalam keadaan krisis moneter dan/atau terjadi bencana alam, maka koruptor dapat dikenakan hukuman mati.
Tahun 1997, badai soros mengguncang perekonomian negeri ini, sehingga menjadikan keuangan negeri ini mengalami krisis moneter, yang berdampak dilengserkannya rezim Soeharto ditahun 1998 oleh para reformis.
22 tahun reformasi bergulir, namun dalam perjalanannya terseok-seok, sehingga menjadikan negeri ini semakin terpuruk dari kondisi krisis moneter meningkat menjadi multi krisis yang tidak jelas kapan selesainya.
Para reformis pasca pelengseran rezim soeharto, dalam aktualisasi politiknya berhimpun dalam komunitas politik warna masing-masing, mereka sibuk berebut kekuasaan, satu sama lain berkompetisi dalam politik dan saling menjatuhkan, sehingga mereka melupakan agenda reformasi yang seharusnya menjadi kewajiban untuk mewujudkan perubahan, namun dalam perjalananan reformasi rakyat hanya dijadikan legalitas dan komoditas untuk mendulang suara dengan menghalalkan segala cara.
Rakyat menjadi frustasi atas harapan tipis adanya perubahan dan janji-janji pepesan kosong para pemimpin munafik yang telah mengkhianatinya, berdampak pada politik transaksional, sehingga rakyat dalam memberikan suaranya selalunya ijon dengan nominal, itulah potret demokrasi Indonesia saat ini, demokrasi kapitalisme yang melahirkan para pemimpin dari rahim demokrasi pelacur politik.
Memasuki Usia 7 Hari ditahun 2020, KPK telah melakukan OTT terhadap bupati Sidoarjo Cs dan Seorang Komisioner KPU Cs.
Tragedi OTT KPK merupakan sinyal, bahwa negeri ini masih di dominasi para pemimpin munafik korup yang dipastikan tega menghisap Darah Rakyatnya sendiri dari hulu sampai ke hilir.
Hanya ada satu solusi NKRI bersih dan bebas dari korupsi, dengan menghukum mati koruptor dan menyita seluruh harta kekayaannya untuk dikembalikan kepada Rakyat Indonesia.
Kalaupun ada segelintir anak bangsa yang menentang koruptor dihukum mati dengan alasan melanggar HAM, maka yang berpendapat demikian dipastikan corong dan kacungnya koruptor dan atau malah koruptornya sendiri.
Koruptor telah merampas HAK kesejahteraan berjuta-juta Rakyat Indonesia, dan berjuta-juta HAM Rakyat Indonesia telah dirampok oleh seorang dan sekelompok orang Koruptor, lalu apakah dengan menghukum mati para koruptor yang telah merampok jutaan HAM Rakyat Indonesia, kalian para corong dan pengamat bayaran masih mau membelanya? Monggo...!!!
Saat ini korupsi berkembang biak bagai benalu yang hinggap disemua institusi, akibat pemimpin negeri ini tidak konsisten dengan Pasal 2 Ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Tipikor, dimana Hukuman Mati terhadap koruptor dapat diterapkan disaat negara dalam keadaan krisis moneter.
Oleh : H M Basri Budi Utomo AS, SIP, SH
Ketua Umum Piminan Pusat GNPK-RI
Oleh : H M Basri Budi Utomo AS, SIP, SH
Ketua Umum Piminan Pusat GNPK-RI
(rls)