DEDE FARHAN Memasuki masa transisi new normal saat ini, walau bagaimana pun situasi perekonomian tidak bisa langsung stabil. Berbagai ketidakpastian masih mewarnai berbagai aktivitas ekonomi. Masa pandemi ini merupakan satu situasi yang sering disebut dengan istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity) untuk menggambarkan lingkungan yang menantang kepercayaan diri dan membingungkan. Aktivitas ekonomi masyarakat yang dibuka secara bertahap masih diwarnai kekhawatiran terjadinya gelombang covid 19 yang kedua jika masyarakat masih tidak bisa disiplin untuk mematuhi protokol kesehatan. Sampai saat ini belum ada yang mampu memastikan kapan covid 19 akan benar – benar berakhir, kecuali prediksi – prediksi yang penuh asumsi.
Situasi seperti ini tidak tahu sampai kapan, yang jelas baru sekitar dua bulanan saja diberlakukan PSBB ternyata kelumpuhan ekonomi mulai terasa, bahkan banyak perusahaan yang gulung tikar termasuk merumahkan (PHK) karyawannya. Saat toko ditutup, aktivitas ekonomi terhenti tentu tidak ada pemasukan, jadi bisa dipahami juga jika pada akhirnya dengan sangat terpaksa melakukan PHK karyawan. Hal ini tentu menjadi masalah baru, selain masalah kesehatan yang juga semakin bertambah korbannya. Itulah sedikit gambaran situasi ekonomi di masa pandemi corona, yang memunculkan istilah baru CORONOMY. Situasi sulit ini tentu tidak hanya dirasakan oleh satu daerah saja, melainkan juga banyak daerah atau mungkin seluruh daerah. Bahkan dalam skala makro banyak negara yang mengalami persoalan yang sama.
Dalam situasi sulit seperti saat ini, banyak orang yang mulai sadar akan pentingnya tabungan atau simpanan untuk mengatasi kesulitan keuangan dalam situasi darurat (emergency fund). Dana darurat ini sejatinya memang digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kondisi – kondisi yang tidak terprediksi seperti situasi saat ini. Pengeluaran sudah pasti akan selalu keluar, bahkan cenderung meningkat karena kenaikan harga – harga, sementara dari sisi pemasukan justru sebaliknya. Bukan hanya menurun, tetapi untuk beberapa kasus justeru banyak keluarga yang tidak memiliki pemasukan. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat serius bagi banyak keluarga.
Dalam beberapa pelatihan Ekonomi Keluarga, saya sendiri sering mengingatkan pentingnya alokasi anggaran darurat, karena banyak orang yang tidak bisa mengalokasi anggaran keuangannya karena berbagai alasan. Padahal jika tidak sengaja mengalokasikan, ya memang tidak akan pernah ada. Pengalokasian dana darurat ini sejatinya merupakan praktek manajemen risiko pribadi agar kita mampu melakukan mitigasi risiko (meminimalkan risiko) saat terjadi kejadian sulit yang datangnya mendadak alias tidak terduga (unpredictable).
Adapun besaran nominal dana darurat yang harus disiapkan minimal 6 bulan dari biaya rutin bulanan. Semakin besar tentu semakin baik. Jadi jika biaya rutin pengeluaran kita Rp. 3 juta/ bulan, maka besaran dana darurat ini minimal sebesar 6 x Rp. 3 juta alias Rp. 18 juta. Dengan demikian jika terjadi situasi yang tidak terduga seperti saat ini, maka kita masih bisa bertahan dalam 6 bulan ke depan. Di masa 6 bulan ini akan dimanfaatkan untuk mencari sumber pendapatan lain, namun dengan suasana kebatinan yang tidak terlalu khawatir karena adanya dana darurat tadi. Jika tidak ada alokasi dana darurat, maka bisa dipahami jika menghadapi situasi seperti saat ini banyak masyarakat yang tidak siap. Coba kita lihat beberapa pelanggaran PSBB yang terjadi, diantaranya sulit untuk disuruh tetap tinggal di rumah. Kenapa ? Karena memang tidak punya bekal untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Banyak masyarakat yang mau untuk tetap tinggal di rumah jika ada jaminan pemasukan.
Dana darurat umumnya dilakukan sekitar 10% dari pendapatan rutinnya. Jadi misalnya seseorang dapat pendapatan Rp. 2 juta per bulan, maka idealnya dia bisa menyisihkan Rp. 200 ribu per bulan sebagai dana darurat. Dana darurat bukan mengambil alokasi dari dana sosial ataupun dana investasi.
Editor: Ingatan