Oleh: IFRIANDI SH.
Advokat Muda
Wakil Ketua GNPK-RI Riau
Kita sering sekali mendengar
ucapan “kalau kita punya kesempatan pasti juga kita korupsi seperti para
koruptor itu” karena kita tidak memiliki kesempatan maka kita tidak korupsi,artinya
pandangan yang terbentuk didalam pemikiran masyarakat umum adalah kita atau
siapa saja yang memiliki kesempatan pasti akan korupsi apakah benar begitu?
Penulis pikir ungkapanini ada benarnya, fakta membuktikan sejak Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terbentuk pada tahun 2003 dan telah berkiprah lebih dari enam
belas tahun memberantas korupsi namunfaktanya korupsi masih tetap ada sampai
hari ini. Penangkapan yang dipertontonkan oleh KPKseolah tidak membekas pada
penyelenggara Negara seperti kata istilah “anjing menggogong kafilah berlalu”
namun membiarkan fenomena ini terjadi secara sadar meskipun hanya dengan sebuah
ungkapan sederhana diatas sesungguhnya sangat berbahaya karena akan meresap
kealam pikiran bawah sadar setiap orang sehingga menjadi sebuah doktrin yang
kemudian menimbulkan perilaku menempatkan pelaku tindak pidana korupsi pada posisi
seolah wajar-wajar saja dan kesempatan sekali lagi dijadikan kambing hitam.
Jika bertitik tolak dari
argumentasi bahwa setiap orang akan korupsi jika ada kesempatan, dan orang yang
tidak korupsi pasti orang yang tidak memiliki kesempatan akan mengarahkan pada suatu
kesimpulan bahwa korupsi itu adalah budaya. Pada tataran rill perbuatan korupsi
memang bisa dikatakan mengarah pada pembudayaan yang mana perbuatan yang
berulang dengan memanfaatkan kesempatan memperkaya diri atau orang lain dengan
cara mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya yang berhubungan dengan
jabatannya bukan menjadi suatu yang tabu.
Kesempatan yang ada selalu
dijadikan alasan pembenar untuk kemudian seolah-olahmentoleransi perbuatan
korupsi tersebut. Saya berikan contoh fakta ada sekelompok orang yang mengatas
namakan oragnisasi tertentu memberikan dukungan secara simbolik dengan memberikan
tandatangan mereka pada suatu wadah pada seorang Gubernur yang baru saja tertangkap
tangan menerima suap. Fenomena apa ini? Apakah memang benar dalam benak masyarakat
Indonesia korupsi oleh orang-orang yang memiliki kesempatan adalah hal biasa.
Fenomena semacam ini menurut
penulis adalah sinyal sebagai titik tolak bagaimana Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mendesign ulang konsep dan program pencegahan korupsi di Indonesia
yang menurut hemat penulis akar nya adalah “PARADIGMA PEMBUDAYAAN KESEMPATAN
DALAM JABATAN”. Sosialisasi kembali secara massif, terus menerus merubah
paradigma masyarakat Indonesia bahwa KORUPSI itu adalah kejahatan bukan budaya,
menghilangkan stigma bahwa korupsi adalah budaya yang berselingkuh dengan
kesempatan adalah sangat urgen jika ingin usaha memberantas tindak pidana
korupsi berhasil
Melakukan campaign bahwa
jabatan bukanlah jembatan kesempatan untuk berlaku curang namun jabatan adalah
amanah pengabdian semata untuk membaktikan diri pada Negara. Yang terjadi
kemudian di Indonesia jabatan adalah sumber mencari pekerjaan dan menjadi kaya.
Pemikiran seperti ini sudah
menjadi paradigma berpikir setiap calon pejabat baik Eksekutif, Legislatif,
maupun yudikatif ini adalah sebuah ironi yang dapat dibuktikan dengan tidak
adanya efeknya jera bagi pelaku korupsi seolah pelaku korupsi patah tumbuh
hilang berganti ditangkap satu tumbuh seribu.
Terakhir penulis berpendapat
pencegahan korupsi mutlak harus dilakukan dimulai dari merubah paradigama
setiap orang bahwa jabatan bukanlah kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk memperkaya
diri dan korupsi bukanlah budaya yang harus dipertahankan dengan melegitimasi kesempatan.
Jika akar persoalan ini tidak tersentuh maka penulis sangat pesimistis
pencegahan korupsi akan berhasil namun jika kita mampu secara perlahan
membangun suatu stigma baru yang dapat membelokkan pemahaman yang selama ini
berkembang maka penulis optimis upayapemberantasan akan berhasil.
Salam anti korups i!!!