JAKARTA, (AR) -- PT Garuda Indonesia Tbk (GIIA) kembali membukukan rugi bersih sepanjang semester I 2017 sebesar US$281,92 juta atau sekitar Rp3,7 triliun. Angka itu melonjak 343,33 persen jika dibandingkan rugi bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya US$63,59 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Mansury menjelaskan, sebagian kerugian itu berasal dari pembayaran tebusan amnesti pajak dan denda atas kasus persaingan usaha di Australia.
"Masing-masing untuk tax amnesty biayanya US$137 juta dan kasus di Australia (dugaan kartel) AUD10 juta," kata Pahala, Kamis (27/7).
Lebih rinci, Pahala menjelaskan, rugi bersih perseroan pada kuartal II tercatat sebesar US$184 juta, naik hampir dua kali lipat dibandingkan kuartal I sebesar US$99 juta. Menurut Pahala, bila tanpa pembayaran amnesti pajak dan denda di Australia, maka jumlah rugi perseroan sebenarnya terbilang turun, yakni sebesar US$38 juta.
"Kondisi ini kami katakan lebih baik, tinggal US$38 juta atau per bulannya kurang lebih sekitar US$12,5 juta," sambung Pahala.
Pahala pun mengklaim, kendati merugi, perusahaan membukukan kenaikan pendapatan menjadi US$1,88 miliar dari sebelumnya US$1,76 miliar. Bila dirinci, pendapatan ini paling banyak berasal dari penerbangan berjadwal, yaitu US$1,63 miliar.
Sayangnya, kenaikan pendapatan tersebut diiringi kenaikan beban perusahaan dari US$1,81 miliar menjadi US$2,11 miliar. Menurut Pahala, salah satu beban terbesar perusahaan, berasal dari pembelian avtur yang meningkat hingga 36,5 persen (yoy) mencapai US$571,1 juta.
"Salah satu kendala biaya avtur kami, peningkatan 36,5 persen. Cukup tajam," kata Pahala.
Namun, ia mengakui, harga avtur memang tidak lepas dari harga minyak mentah dunia. Sehingga, pihaknya akan melakukan beberapa strategi efisiensi sebesar US$100 juta pada semester II ini.
"Kami mau renegosiasi dengan supplier, perpanjang waktu tenor. Fuel sudah bicara dengan supplier agar bisa efisiensi," jelas dia.
Pahala pun memproyeksikan, dalam enam bulan ke depan, pihaknya dapat membukukan laba US$12 juta per bulan. Tren perbaikan ini dinilainya mulai terlihat pada kuartal II 2017.
"Kuartal sebelumnya rugi US$12 juta per bulan, enam bulan kemudian optimis bukukan per bulan US$12 juta," pungkas Pahala.
(cnnindonesia)