PEKANBARU – Wacana pemerintah membebaskan 30 ribu orang Narapidana untuk menghemat anggaran keuangan negara ditengah pademi Virus Corona yang merebak, perihal tersebut membuat Pakar Hukum Pidana Riau Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH angkat bicara. Wacana ini pada dasarnya bagus namun perlu dilakukan pengkajian ulang dan berbagai pertimbangan lainnya agar program ini wacananya lebih tepat. Jumat (03/04/2020) di Pekanbaru.
Huda mengatakan dengan membebaskan 30 ribu orang Napi akan menghemat uang negara ditengan pandemi Virus Corona yang merebak ini, selain itu juga penyebaran Virus dalam lapas bisa dicegah. "Kalau 30 Ribu orang dikalikan biaya makan Rp. 17.000 perorang maka Rp. 510 juta anggaran pemerintah bisa dihemat untuk perharinya," kata Huda.
Dikatakan Huda, biaya makan napi yang dihemat dari anggaran negara itu bisa menghemat uang negara. Belum lagi biaya-biaya lain yang timbul dari dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) seperti listrik, air dan obat-obataan. "Lankah menteri Yasona Laoly sudah tepat, tapi seharusya dia menjelaskan ini kepublik. Saya nilai ditengah pandemi Virus Corona patut diduga group koruptor sepakat ingin bebas dari penjara," katanya.
Mengenai pembebasan Koruptor dalam hal ini Huda mengaku tidak setuju, kalaupun dibebaskan dia menyarankan Menteri Hukum dan Ham menjelaskan alasannya, agar rakyat tahu argumen sosiologis dan ekonomisnya.
"Tapi sebaiknya Koruptor biarkan didalam penjara saja agar mereka bisa merasakan akibat perbuatannya yang merugikan orang banyak itu," sambung Huda.
Huda yang juga sebagai Direktur Formasi Riau itu mengutip ungkapan Herman Bianchi (1985), seorang guru besar kriminologi di Belanda.
"Apa anda tidak tahu bahwa 'strafrecht is een slecht recht'?, mengapa jelek, hukum pidana bisa dijadikan alat untuk memajukan suatu negara bahkan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi," kutip Huda.
Juga dikutip dari ungkapan Gusdur pernah yang mengatakan, "untuk menangkap mafia kita harus izin dulu ke mereka, jika mereka tidak izinkan, mereka akan bersatu untuk melakukan segala cara."
"Contoh lahan sawit illegal di Riau, ada yang mengatakan 1,8 juta hektar, 1,5 juta hektar, ada 1.2 juta hektar. Ya kita anggap 1 juta hektar lebih. Ini mau diapakan, kita mau tebas sawit illegal tersebut atau negara ambil manfaat dari itu?," lanjut Huda.
"Misalnya Satgas penertiban sawit ilegal di Riau sudah sejauh ini bekerja lalu mana hasilnya?. Gubri Syamsuar anda mau bawa kemana Satgas itu? Publik menunggu hasil nyatanya, anda gunakan itu dengan tujuan hukum pidana "retribution" atau "reformation"?," pungkasnya.
(*)