PELALAWAN - Terkait eksekusi lahan PT. PEPUTRA SUPRA JAYA (PSJ) di Pangkalan Gondai, Kec. Langgam, Kab. Pelalawan beberapa waktu lalu, ketua Gerakakan Aspirasi Masyarakat Petani Sejahtera (GAMPERA) Riau, Abdul Murat.S.IP angkat bicara saat ditemui awak media mengemukakan pendapatnya.
"Ini kasus sangat miris dan menyedihkan, jika kita membaca dari berbagai media yang mengangkat berita ini, bahwa dasar terjadinya eksekusi lahan PT. PSJ ini adalah putusan MA Nomor.1087/K/PID.SUS.LH/2018 desember 2018 menyebutkan bahwa lahan seluas 3.323 Ha dirampas untuk dikembalikan kenegara melalui dinas LHK Provinsi Riau."
"Saya menilai ini adalah hal yang sangat merusak sendi-sendi keadillan dari sebuah proses penegakan hukum. Eksekusi lahan semacam ini melanggar UUD 1945 dimana dipasal 33 disebutkan bahwa bumi, air dan apa apa yang terkandung didalamnya diperggunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini artinya dibumi ini rakyat berhak hidup dan mencari hidup karna bumi indonesia milik rakyat." Lanjutnya.
"Jika persoalannya adalah PT. PSJ tidak mengantongi izin ya silakan saja lahan perusahaan di ambil alih dan lahan KKPA masyarakat dikembalikan kepada rakyat, dan disertifikatkan melalui program tora, mestinya begitu karna ini menyangkut hajat hidup orang banyak di daerah tersebut."
Negara memang punya hak memaksa atas sebuah keputusan dari sebuah kebijakan yang dikeluarkannya seperti pelaksanaan putusan Mahkamah Agung tersebut, tapi jangan lah terkesan menindas masyarakat yang lemah, apalagi dihadapkan dengan ratusan aparat kemanan.
Dari pihak masyarakat mereka protes karna mereka merasa sangat terzalimi atas keputusan MA tersebut tempat atau lahan dimana mereka menghidupi keluarganya diambil atau dirampas dengan semena mena, itu yang masyarakat protes.
Contoh, sedang jika ada sebuah kegiatan proyek pemerintah untuk kepentingan umum saja yang melewati lahan masyarakat tidak bisa dipaksa begitu saja harus ada ganti rugi begitu disebutkan dalam PERPRES no. 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah. Artinya pengadaan tanah untuk kepentingan umum saja tidak bisa main paksa, apalagi ini lahan di sita oleh negara lalu dialih fungsikan/diserahkan keperusahaan lain yaitu NWR, untuk HTI ini sungguh suatu pembodohan dan penindasan terhadap hak yang bergantung hidup dilahan tersebut.
Jika begini kemana lagi rakyat menuntut keadilan jika hukum saja tidak mampu mewujudkan rasa keadilan terhadap rakyat dinegeri ini.
"Selain itu mengapa baru sekarang dilakukan penindakan. Artinya selama ini terjadi pembiaran atas lahan yang di sebut tak berizin tersebut padahal di kabupaten pelalawan ini ada Bupati, ada DPRD, ada Penegak Hukum mengapa selama ini didiamkan. artinya ada sesuatu pelanggaran dibiarkan oleh pemerintah ada apa? kenapa baru sekarang ada tindakan, apalagi lahan tersebut ada didesa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam kampungnya Pak Bupati kita, tak mungkin Pak Bupati tak tahu ada lahan ilegal dikampungnya. Sekali lagi ini miris sekali, kemana rakyat mau mengadu jika hukum saja sudah tidak bisa memberikan rasa kradilan."
"Saya sarankan masyarakat membentuk Tim lalu membuat laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombusman RI dan Kementerian Agraria, juga tujukan laporan ke Presiden RI, jangan lagi bertahan dilapangan percuma. sebab bisa jadi ada indikasi korupsi terkait persoalan lahan ini terutama pada poin penyalahgunaan wewenang, suap menyuap dan tindakan curang sesuai UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi." Tutup Abdul Murat.
***(rls)