Dede Farhan Aulia (Foto:Istimewa) |
BANDUNG, (AR) - Pemerintahan yang bersih dan demokratis merupakan sebuah keniscayaan dari berlakunya nilai-nilai demokrasi dan masyarakat madani pada level kekuasaan Negara. Nilai-nilai masyrakat madani (civil society) tidak hanya dikembangkan dalam masyarakat (individu, keluarga, dan komunitas), tetapi juga harus dikembangkan pada level Negara (civil state).
Sehingga system kenegaraan yang dibangun menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam perwujudan masyarakat madani, termasuk system pemerintahan yang demokratis dan bersih. Keduanya, kekuatan sipil (masyarakat) dan Negara (state), saling mendukung dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
Permasalahan korupsi senantiasa menjadi obrolan yang menarik di berbagai kalangan. Berbagai teori bermunculan, bahkan seminar, diskusi, lokakarya dan berbagai instrument lain para cendekia setiap saat berfikir untuk menemukan formula yang tepat dalam pemberantasan korupsi.
Tapi formula itu tak kunjung ketemu. Buktinya korupsi semakin marak, massif dan tidak terkendali. Kemudian timbul beberapa pertanyaan :
Kenapa orang bisa korupsi ?
Kenapa korupsi semakin marak ?
Kenapa korupsi sulit diberantas ?
Bagaimana cara melakukan pemberantasan korupsi ?
Siapa yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi ?
Kapan korupsi harus diberantas ?
Berapa lama bisa memberantas korupsi ?
Darimana mulai melakukan pemberantasan korupsi ?
Itu contoh beberapa pertanyaan yang sering muncul di masyarakat, terlebih kelompok masyarakat para pegiat anti korupsi.
Tentu tidak ada jawaban yang pasti, karena pemberantasan korupsi masuk pada rumpun ilmu sosial. Variabelnya tentu banyak dan dinamis.
Itu pula berbagai pertanyaan yang sering keluar dari masyarakat kepada GNPK RI sebagai salah satu ormas yang giat dalam melakukan pencegahan korupsi.
Pada kesempatan ini saya hanya ingin berbagi salah satu teori Korupsi yang disampaikan oleh Jack Bologne yang terkenal dengan Teori GONE. Menurut teori ini dijelaskan bahwa seseorang bisa melakukan tindakan korupsi dipengaruhi oleh empat hal, yakni :
1. G (Greedy) atau serakah
2. O (Opportunity) atau kesempatan untuk melakukan
3. N (Needs) atau kebutuhan yang tidak pernah kurang
4. E (Expose) yang dapat bermakna pemidanaan terhadap koruptor tidak sebanding dengan kejahatannya, sehingga tidak memiliki efek jera.
Bila dikaitkan dengan teori tersebut, maka selanjutnya muncul pertanyaan yang mendasar yaitu harus dimana pencegahan dan pemberantasan korupsi dimulai ? Karena fakta bisa bicara, meskipun ada inspektorat, Badan Kehormatan, Komis Etik atau apapun istilahnya, ternyata tidak mampu menghentikan syahwat dalam perilaku yang koruptif.
Banyak yang berpendapat harus dimulai dengan membenahi system demokrasi kita.
Sebagaimana kita ketahui bahwa biaya demokrasi itu sangat tinggi sekali. Lihat saja berapa trilyun anggaran yang harus dikeluarkan oleh Negara untuk membiayai system demokrasi kita.
Ditambah lagi dengan biaya - biaya yang tidak terlihat, seperti dari kantong sendiri atau para simpatisan. Sementara gaji yang diperoleh saat sudah menduduki jabatan tidak mampu menutupi biaya yang sudah dikeluarkan.
Akhirnya saat logika matematika menjadi buntu, rumus fisika tak lagi mampu menjawab bagaimana bisa mengembalikan modal politik yang sudah keluar, maka "politik koruptif" adalah satu - satunya jalan.
Oleh karena itu, system demokrasi yang sehat dan cerdas harus dibangun yaitu system politik yang tidak mendewakan uang. Lihat saja berapa banyak potensi calon - calon pemimpin yang bagus menjadi mandek, hanya karena tidak memiliki modal finansial.
Mau sampai kapan modal finansial menjadi segalanya dalam politik ?
(pe:dede farhan aulia)